Yogyakarta, Kabar Jogja - Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) memastikan tetap mendukung penuh perbaikan tata kelola keuangan desa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kehadiran Bank Pembangunan Derah (BPD) disebut bukan sekedar lembaga intermediasi keuangan semata, melainkan sebagai katalisator pembangunan daerah.
Hal ini terangkum dalam Seminar Nasional BPD se-Indonesia (BPDSI) bertajuk ‘Implementasi Sistem Keuangan Desa Melalui BPDSI untuk Mendukung Tata Kelola Keuangan Desa’ yang berlangsung di Yogyakarta, Kamis (7/8). Acara ini diselenggarakan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) dan Bank BPD Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ketua Umum Asbanda Agus Haryoto Widodo mengatakan keberadaan BPD penting dan sangat strategis karena mencakup mendorong pertumbuhan ekonomi, pengelolaan kas daerah, dan menyumbang pendapatan asli daerah.
Dalam konteks pengelolaan keuangan desa, kata Agus, Asbanda mendukung penuh sistem transformasi digital, seperti Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) dan Sistem Implementasi Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dalam bentuk online melalui aplikasi Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD), yang telah diakselerasi melalui regulasi Permendagri Nomor 70 Tahun 2019 serta Surat Edaran Nomor 130/736/SC Tahun 2020.
“Kerja sama Asbanda dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai langkah konkret digitalisasi fiskal. Sistem ini akan memperkuat akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi di tingkat desa sekaligus menjadi tonggak elektronifikasi transaksi pemerintah daerah,” ,” kata Agus, yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Bank Jakarta.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, implementasi Siskeudes menjadi bukti, digitalisasi adalah instrumen keadaban birokrasi.
“Kehadiran sistem keuangan desa berbasis digital secara signifikan, dapat meningkatkan kinerja dan akuntabilitas,” ujar Sri Sultan.
Dia melanjutkan, peran BPDSI menjadi sangat strategis. Bukan sekadar sebagai mitra finansial, melainkan katalis transformasi tata kelola desa. Integrasi Siskeudes dengan layanan Cash Management System (CMS) BPD, diharapkan memperkuat governansi anggaran desa, agar dapat dikelola secara kolaboratif, efisien, dan berorientasi pada keadilan fiskal.
“Sistem ini tidak hanya mempercepat pencairan, tetapi juga mempersempit ruang manipulasi, dan memperluas transparansi,” jelas Sri Sultan.
Saat seminar, Direktur Fasilitasi Perencanaan Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Bahri mengatakan, Kemendagri terus berupaya memfasilitasi pengelolaan keuangan desa berbasis transaksi non tunai.
Salah satunya lewat aplikasi Siskeudes dengan aplikasi CMS Bank yang terus dikembangkan dengan versi teranyar.
“Ini sebagai upaya mendukung implementasi transaksi non tunai, sehingga pajak dan transaksi dapat secara otomatis terinput dalam aplikasi Siskeudes dan menjadi alat pengambil kebijakan terkait pengelolaan keuangan desa,” ujarnya.
Bahri melaporkan, hingga saat ini sebanyak 115 kabupaten/kota dan 11.070 desa yang telah melaksanakan implementasi transaksi non tunai. Di DIY, sudah ada tiga kabupaten yang menerapkan transaksi non-tunai di desa yaitu Bantul, Sleman, dan Gunungkidul.
Sementara itu, Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkue, Jaka Sucipta memaparkan data terkait dana desa yang digelontorkan pemerintah sejak 2015 telah mencapai Rp678,9 triliun.
Karena itu, menurutnya pengelolaan keuangannya harus transparan dan akuntabel. Untuk mendorong hal tersebut, Jaka mengatakan, pemerintah mendorong pengelolaan dana secara digital melalui Siskeudes. Sampai saat ini penggunaan aplikasi Siskeudes yang dilakukan pemerintah desa telah mencakup 95,3 persen. Penggunaan aplikasi Siskeudes belum mampu menjangkau seluruh desa.
“Ada 3.000 desa yang saat ini belum terjangkau Siskeudes, karena memang layanan telekomunikasi nya kurang bagus gitu ya,” jelasnya.
Untuk menyiasatinya, kata Jaka, Kemenkeu tengah mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Keuangan Desa Teman Desa (SIKD Teman Desa). Terutama, bagi desa yang menggunakan Siskuedes non aplikasi atau desktop.
Jaka menjelaskan, implementasi Siskeudes ada dua, yakni secara online dan desktop. SIKD Desa ini menjadi solusi bagi desa-desa yang tidak menggunakan Siskuedes non aplikasi.
Chairman Infobank Institute, Eko B Supriyanto menyoroti tantangan mengimplementasi Siskeudes. Salah satunya soal pengetahuan teknis dimana baginya kurangnya keterampilan perangkat desa dalam mengoperasikan aplikasi menghambat pemanfaatan optimal sistem ini.
“Kedua, soal infrastruktur. Keterbatasan akses perangkat komputer dan konektivitas internet di beberapa wilayah dapat menghalangi implementasi Siskeudes secara maksimal. Belum lagi soal potensi serangan siber,” jelasnya.
Saat ini BPD secara IT sudah solid, tetapi apakah pemerintah desa yang menjalankan Siskeudes. Serangan siber ini menyerang titik lemah system, sehingga diperlukan dukungan teknis.
“Minimnya dukungan teknis dari pusat saat terjadi kendala, seperti bug pada aplikasi. Ini yang dapat mengurangi kepercayaan pengguna terhadap sistem,” tutupnya. (Set)