![]() |
Isi Kesepian Dengan TikTok, Gen-Z Diingatkan Dampak Buruknya |
Bantul, Kabar Jogja – Sejumlah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengingatkan kalangan Generasi Z (Gen-Z) akan bahaya jika berlebihan dan terus-menerus berselancar di media sosial, khususnya TikTok.
Ditengah upaya mereka mengisi kesepian, arus deras kehidupan di media sosial menjadikan banyak pengguna Gen-Z tetap merasa terasing dari kehidupan sosial nyata.
Fenomena ini dipaparkan lima mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY melalui riset berjudul ‘Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual’.
Riset dengan metode kualitatif ini berhasil lolos seleksi Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2025 dan memperoleh pendanaan sebesar Rp6,2 juta dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Tim yang beranggotakan Fifin Anggela Prista, Gifatul Hidayah, Najwa Aulia Habibah, Rossy Safitri Putra Pratama, dan Muhammad Rasyid Ridha menggunakan metode kualitatif untuk menggali pengalaman personal para pengguna TikTok secara mendalam.
Mewakili empat rekannya, Ketua tim riset Fifin Anggela Prista, mengungkapkan ide penelitian berawal dari pengamatan sehari-hari terhadap kebiasaan Gen Z yang hampir selalu berselancar di media sosial, khususnya TikTok.
Situasi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar: Mengapa seseorang bisa begitu aktif di dunia maya, tetapi minim interaksi sosial secara langsung?
“Setelah berdiskusi dengan anggota tim, kami menyadari pengalaman serupa juga dialami banyak orang di sekitar. Dari riset kecil-kecilan, kami menemukan keterkaitan antara penggunaan media sosial yang berlebihan dengan rasa kesepian, insecure, bahkan masalah kesehatan mental,” jelas Fifin dilansir Jumat (15/8).
“Di satu sisi, konten di media sosial adalah hasil rekayasa. Namun di sisi lain, orang tetap mengkonsumsi dan bahkan membenarkan narasi tersebut. Menurut teori hiperrealitas, representasi digital kerap dianggap lebih ‘nyata’ daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat mempengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang,” ungkap Fifin.
Hasil pengamatan awal menunjukkan banyak akun TikTok memproduksi ulang narasi kesepian dengan sentuhan estetik dan emosional, seperti kutipan tentang hubungan, kehilangan, atau rasa keterasingan. Konten ini sering dibagikan ulang sebagai bentuk coping stress, yakni cara menyalurkan perasaan melalui media sosial.
“Konten yang dibuat orang lain sering kali merepresentasikan diri kita, entah itu soal pencapaian orang lain atau kisah emosional seperti percintaan. Walaupun sebagian bersifat komersial, pengguna tetap membagikannya karena merasa konten tersebut mewakili perasaan mereka,” tutur Fifin.
Namun, kebiasaan ini memicu efek domino. Semakin sering pengguna membagikan konten kesepian, semakin banyak pula konten serupa yang muncul di linimasa akibat algoritma TikTok. Penelitian menunjukkan bahwa semakin sering terpapar konten kesepian, semakin tinggi pula risiko mengalami gangguan kesehatan mental.
Melihat potensi dampak yang lebih luas, tim Hypercrowd berencana menggandeng Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengembangkan strategi literasi digital dan manajemen penggunaan gawai.
“Harapannya, penelitian ini bisa menjadi inovasi dalam penanganan isu literasi digital dan kesehatan mental, khususnya di kalangan Gen Z. Karena kesepian sering dianggap masalah pribadi, padahal dari hal-hal yang terlihat sepele ini, dampaknya bisa sangat besar bagi kesehatan mental generasi muda,” tutup Fifin. (Tio)