Sleman, Kabar Jogja - Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF), Saga Iqranegara menyebut mayoritas perusahaan swasta di Indonesia tidak memiliki tim keamanan siber, sehingga mereka rentang serangan siber. Kehadiran talenta digital tersertifikasi dalam lima tahun kedepan akan sangat dibutuhkan.
Kenyataan ini disampaikan Saga dengan menukil laporan riset Cybersecurity Readiness Index oleh Cisco, sebuah perusahaan teknologi global Mei ini. Dilaporkan, hanya 11 persen perusahaan swasta di Indonesia yang memiliki tim keamanan siber.
“Sisanya, 89 persen rentan mengalami serangan siber yang mengancam keamanan basis data dan aktivitas digital organisasi,” jelasnya Sabtu (31/5).
“Itu artinya 89 persen perusahaan rentan mengalami serangan siber yang mengancam keamanan basis data dan aktivitas digital organisasi,” jelasnya Sabtu (31/5/2025).
Saga menuturkan dengan pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) juga merevolusi keamanan siber dan menaikkan tingkat ancaman. Sembilan dari sepuluh atau kisaran 91 persen mengalami insiden keamanan yang berhubungan dengan AI pada tahun lalu.
Riset ini juga memaparkan 61 persen organisasi yang menghadapi serangan siber justru dihambat oleh framework keamanan yang kompleks dengan solusi sistem yang tidak terintegrasi (disparate point solution).
Pandemi Covid-19 menurut Saga menjadi momentum perusahaan melakukan transformasi digital. Namun menurut tidak banyak perusahaan yang memperhatikan keamanan sistem dan data mereka.
"Biasanya perusahaan baru memanggil ahli keamanan siber saat sudah terjadi masalah, semestinya itu bisa dicegah sejak awal. Karenanya Indonesia membutuhkan lebih banyak lulusan keamanan siber yang tersertifikasi," kata Saga.
Sebagai jawaban atas kebutuhan jasa keamanan yang membutuhkan biaya sangat besar. Kemudian tidak banyak banyak perusahaan yang mampu menyiapkan dan menjaga keamanan sibernya.
Direktur Politeknik AI Budi Mulia Dua (PLAI BMD), Ridho Rahmadi menegaskan perlunya perguruan tinggi dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas para talenta dan profesional di bidang AI, khususnya yang menguasai keamanan siber.
Ia menegaskan keamanan siber menghadirkan resiko yang membuat kerugian perusahaan akan jauh lebih besar.
“Pada 2030, Indonesia diperkirakan membutuhkan 9 juta talenta digital AI dengan kepakaran lebih spesifik di dalam spektrum digitalisasi, seperti untuk menjaga keamanan siber," ujar doktor di bidang data science and machine learning Universitas Radboud Belanda ini.
Penguatan keamanan dunia siber memerlukan talenta-talenta digital yang dibekali keterampilan teknis dan telah belajar langsung tentang cyber security dari dunia industri. Kualifikasi ini diterapkan di PLAI BMD yang berdiri pada April 2025 dan berbasis di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai kampus AI pertama di Indonesia.
"PLAI BMD menawarkan tiga program studi unggulan, salah satunya adalah Rekayasa Keamanan Siber yang diperkuat pengajar profesional dan praktisi andal,” tutur penyandang gelar master di bidang AI dari dua kampus Eropa, yakni Universitas Johannes Kepler Linz dan Universitas Teknik Ceko,
Dengan kurikulumnya terdiri dari 70 persen praktik dan 30 persen teori, serta bekerja sama dengan 13 mitra industri. Mahasiswa yang lulus siap menghadapi ancaman dunia siber sesungguhnya. (Tio)