Yogyakarta, Kabar Jogja –Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Daerah Istimewa Yogyakarta, Hilmy Muhammad mengusulkan ke pemerintah untuk menjadikan indicator kepala keluarga bukan perokok aktif sebagai syarat penerima bantuan sosial (Bansos).
Pernyataan ini disampaikan Hilmy, Selasa (6/5) sebagai penolakannya terhadap wacana yang disampaikan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait persyaratan vasektomi bagi warga miskin penerima bantuan sosial (bansos).
“Kebijakan semacam itu, vasektomi, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi manusia, dan prinsip keadilan sosial yang dijamin oleh konstitusi. Itu bentuk pemaksaan yang tidak beradab dan tidak memiliki dasar moral maupun hukum yang kuat,” katanya.
Menurutnya, kebijakan pengendalian penduduk harus dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi, edukatif, dan berbasis kesadaran, bukan dengan ancaman atau persyaratan sepihak yang justru menyasar kelompok rentan.
Sebagai Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Hilmy mengingatkan, dalam perspektif fiqih Islam maupun etika kemanusiaan universal, tindakan vasektomi tanpa alasan medis yang mendesak, apalagi dipaksakan, tidak dapat dibenarkan.
“Tentu, kita semua sepakat tentang pentingnya pengendalian penduduk, tapi yang sehat dan berkeadilan. Maka caranya harus melalui pendidikan keluarga, pemberdayaan ekonomi, dan penyediaan layanan kesehatan reproduksi yang ramah dan berbasis kesukarelaan, bukan dengan syarat bansos semacam itu,” imbuhnya.
Kedepannya jika pemerintah ingin memberikan syarat tambahan bagi penerima bansos, sebaiknya dicari yang benar-benar relevan, adil, dan berorientasi pada perbaikan kualitas hidup. Ia mencontohkan, misalnya syarat kepala rumah tangga penerima bansos sebaiknya bukan perokok aktif.
“Banyak alternatif syarat yang lebih logis dan bermanfaat dibanding vasektomi. Misalnya, kepala rumah tangga penerima bansos sebaiknya bukan perokok aktif. Itu akan jauh lebih menguntungkan dari sisi kebijakan kesehatan masyarakat,” tegasnya.
Dipaparkannya, data penderita penyakit akibat merokok di Indonesia sangat tinggi dan membebani sistem kesehatan nasional. Jika kebijakan ini diterapkan, bukan hanya pemerintah berani melakukan terobosan, tetapi kebijakannya juga sinergi dengan anjuran kalangan dokter, kementerian kesehatan, dan program nasional pengendalian penyakit tidak menular.
Gus Hilmy juga mengajak semua pihak, khususnya ormas-ormas keagamaan dan lembaga kemanusiaan, untuk bersama-sama menjaga prinsip keadilan sosial dan martabat kemanusiaan di tengah dinamika kebijakan publik yang ada. (Set)