Yogyakarta, Kabar Jogja - Keberatan atas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan tentang pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagaimana mandat dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023.
Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (PD FSP RTMM-SPSI DIY) pada Rabu (27/9) berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo melalui Gubernur DIY.
"Dalam RPP Kesehatan tersebut, pengaturan tentang zat aditif pada produk tembakau menjadi ancaman besar terhadap keberlangsungan stakeholders pertembakauan termasuk buruh pabrik rokok," kata Ketua PD FSP RTMM-SPSI DIY, Waljid Budi Lestarianto dalam rilis Kamis (28/9).
RPP Kesehatan tersebut memuat pasal-pasal yang dirasa tidak adil dan merenggut hak asasi manusia.
Waljid menyatakan keberadaan pasal-pasal terkait produk tembakau dalam RPP Kesehatan menjadi jalan masuk dan justifikasi hukum untuk mendorong regulasi industri hasil tembakau yang lebih ketat dan eksesif.
“RPP Kesehatan saat ini berpotensi mematikan usaha industri hasil tembakau yang merupakan sawah ladang penghidupan anggota kami. Akan banyak pembatasan terkait peredaran produk hasil tembakau, yang berpotensi dapat menurunkan serapan pasar produk hasil tembakau.,” katanya.
Baginya, yang paling sangat berdampak nantinya adalah pekerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang merupakan sektor padat karya dalam industri hasil tembakau. Sektor padat karya menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan memberikan kontribusi yang substansial kepada perekonomian daerah maupun nasional.
Buruh pabrik rokok SKT pada umumnya berpendidikan terbatas yang banyak diserap oleh industri hasil tembakau. Selain ikut berperan dalam menggerakan perekonomian daerah, kehadiran industri hasil tembakau juga turut berperan aktif dalam mengurangi angka pengangguran.
Dalam surat tersebut, PD FSP RTMM-SPSI DIY meminta dua hal sebagai aspirasi perlindungan bagi anggotanya. Pertama pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan tidak melanjutkan pembahasan pasal terkait pengaturan zat adiktif di dalam RPP Kesehatan.
“Hal ini untuk menghindari PHK massal, karena industri hasil tembakau merupakan sawah ladang mata pencaharian anggota kami,” tegas Waljid.
Kedua, agar pasal terkait zat adiktif dilakukan secara terpisah dengan mempertimbangan segala aspek, sebagaimana amanat UU Kesehatan no 17 tahun 2023 pasal 152 ayat 1. Mengingat dampak besar kebijakan tersebut termasuk pada penerimaan negara dan serapan tenaga kerja maka sebaiknya peraturan tentang pengaturan zat adiktif dapat diatur tersendiri. (Tio)