Yogyakarta, Kabar Jogja - Di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir mengalami kelangkaan minyak goreng di pasaran sehingga menyebabkan harga minyak goreng naik hingga dua atau tiga kali lipat.
Meski pemerintah melakukan berbagai kebijakan dari pengaturan batas kuota ekspor sawit hingga mengatur distribusi minyak goreng serta menindak penimbun produk minyak goreng.
Kelangkaan minyak goreng dipasaran tetap saja terjadi sehingga terdapat antrian panjang para ibu rumah tangga hanya untuk dapat membeli minyak goreng dengan harga diatas normal.
Menurut peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Dr. Hempri Suyatna, persoalan kelangkaan minyak goreng ini disebabkan oleh banyak faktor mulai dari meningkatnya harga CPO, gangguan distribusi hingga aksi penimbunan minyak goreng.
“Ada banyak faktor. Saya kira faktor pemicunya sudah muncul sejak tahun lalu, November 2021 dikarenakan kenaikan harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar internasional. Naiknya harga CPO inilah yang kemudian memicu banyak pedagang minyak goreng menjual produknya ke luar negeri daripada ke dalam negeri,” kata Hempri, Selasa (15/3).
Selain banyaknya produk yang dijual ke luar negeri, kelangkaan diperparah dengan banyaknya pedagang yang bermain mencari keuntungan di balik kelangkaan minyak goreng ini, sehingga proses distribusinya pun menjadi tidak berjalan dengan lancar.
“Dalam banyak kasus sering kita temukan, terjadi banyak penimbunan minyak goreng sehingga mengakibatkan proses distribusi menjadi tidak lancar,” paparnya.
Mengatasi melonjaknya harga minyak goreng dan kelangkaan produk tersebut di pasaran, Hempri menghimbau pemerintah lebih gencar melakukan operasi pasar serta melakukan berbagai langkah inovatif misalnya dengan memotong jalur distributor sehingga bisa menekan harga minyak.
"Melakukan pengawasan terhadap para pelaku usaha termasuk konsumen. Jangan sampai penimbunan juga terjadi di level kosumen” ungkapnya.
Proses pengawasan distribusi itu ini perlu diperkuat kembali termasuk soal ekspor CPO hingga distribusi minyak goreng di dalam negeri.
“Perlu perbarui proses pengawasan distribusi ini apalagi Indonesia dikenal penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia,” katanya. (rls)