Sleman, Kabar Jogja - Peneliti transformasi digital Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Iradat Wirid menegaskan pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan di Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi harus diimbangi dengan memperkuat manusianya.
Wirid menyebut hal ini perlu dilakukan sebagai kritik terhadap Buku Putih Peta Jalan Kecerdasan Buatan Nasional yang dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
“Dalam dokumen tersebut, kecerdasan buatan tidak lagi dilihat sebagai bagian dari teknologi dan pendorong ekonomi, namun juga mengatur dari sisi sosial dan budaya. Saya melihat pemanfaatan AI untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi bukan perkara mudah,” katanya Senin (25/8).
Ia mengatakan pemerintah seharusnya tidak hanya menyiapkan pedoman etik yang dapat menjadi acuan penggunaan AI di Indonesia namun juga harus dibarengi dengan memperkuat manusianya.
Saat ini Indonesia mungkin tertinggal jauh dalam perihal coding dan pemrograman dari India dan China. Tapi di isu ini dan teknologi lainnya ke depan masih ada harapan apabila kita punya peta jalan dan arah yang juga berfokus pada talenta dan manusianya.
“Sebenarnya bangsa Indonesia belum siap dalam mengadopsi berbagai teknologi baru termasuk AI. Karena itu, pemahaman masyarakat terhadap isu digital ini masih harus ditingkatkan secara cepat agar tidak semakin tertinggal,” tegasnya.
Keinginan pemerintah untuk mendorong masyarakat menggunakan AI lebih bertanggung jawab dan beretika, idealnya dilakukan seraya memahami faktor di balik teknologi adalah manusia itu sendiri.
Sebab, prinsip penguatan pondasi manusia untuk memahami teknologi itu sendiri harus diutamakan, jika tidak, yang muncul hanya akan kegagapan akan teknologi yang kemudian menjadikan teknologi sebagai alat untuk kepentingan-kepentingan sesaat.
“Tantangan literasi ini bisa menjalar ke risiko sosial politik apabila tidak menjadi prioritas Utama. Isu deepfake pada pemilu lalu bisa saja membesar dan memunculkan konflik baru apabila tidak ada pondasi literasi yang kokoh,” katanya.
Menurutnya, jika hanya mengandalkan moderasi konten atau pemblokiran, tidak akan muncul 'kekebalan alami' di masyarakat. Selain tentunya perlu ada perbaikan dari infrastruktur digital yang belum merata, masih Jawa-centric atau bahkan Jakarta-centric, daerah-daerah lain harus juga mendapatkan hal yang sama.
“Kondisi ini justru bakal memperlebar kesenjangan di masyarakat kita,” paparnya.
Ia berharap buku putih ini menjadi rujukan bersama sehingga nantinya tidak ada tumpang tindih kepentingan dan implementasi yang justru akan membuat masyarakat bingung sendiri. Apalagi pengabaian terhadap kualitas SDM di Indonesia sudah terlalu lama dilakukan.
“Jika ini menjadi prioritas, tentunya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat akan jalan dengan sendirinya ke arah yang positif,” pungkasnya. (Tio)