Sleman, Kabar Jogja – Peneliti Center fo Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Iradat Wirid menyebut meningkatnya aktivasi generasi muda melalui dunia sosial karena adanya rasa penasaran. Dengan kesadaran kritis yang lebih baik dan terbuka, aktivasi digital generasi muda menjelma menjadi kekuatan besar saat ini.
“Saat ini aktivisme digital sangat cepat dan menjadi pilihan bagi setiap individu terlibat di dalamnya. Ini bisa dipahami karena melalui media sosial, individu maupun organisasi masyarakat bisa memperjuangkan sebuah isu lebih aktif dan jika membesar bisa segera lepas tangan,” katanya pada Kamis (26/9).
Di Indonesia, pengguna media sosial mencapai angka 191 juta orang dengan 54 persen berada pada rentang usia 18-34 dan rata-rata penggunaan selama 3 jam 14 menit per harinya.
Dunia digital menjadi pilihan karena memiliki keunggulan interaktivitas dan berjejaring, sebuah pesan bisa diciptakan dengan sedemikian rupa, tidak hanya dalam bentuk tulisan tetapi juga dalam bentuk gambar ataupun video.
“Sehingga dapat memunculkan aktivisme digital yang bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap gaung sebuah isu,” terangnya.
Iradat menjelaskan ada beberapa hal yang menyebabkan anak muda memilih media sosial untuk aktivisme digital. Selain aksesibilitas yang luas, biaya yang rendah, kecepatan penyebaran informasi, interaktivitas dan partisipasi publik, pengorganisasian aksi juga dianggap lebih mudah.
Dirinya mencontohkan bagaimana aksi peringatan darurat yang lalu hampir semuanya terjadi di ruang digital, tidak pernah ada yang bertemu langsung. Mereka tinggal buat poster lewat canva lalu di share di grup-grup yang dinilai menjadi influential untuk aktivisme digital.
Selain itu, anonimitas, medium yang lebih luas, serta viralitas dan amplifikasi juga menjadi poin penting anak muda untuk melakukan aktivisme digital di media sosial. Mereka merasa cemas atau khawatir ketika kurang berpartisipasi pada momen atau peluang penting. Momentum dan viralitas di media sosial penting bagi aktivisme digital.
“Apalagi sekarang kebijakan atau keputusan yang dilakukan pemerintah itu basisnya adalah viralitas. Viral dulu baru ditangani, dan terbukti kan, aksi peringatan darurat kemarin bisa merubah suatu kebijakan,” tuturnya.
Namun dibalik kemudahan aktivisme digital dalam memperjuangkan banyak isu, terdapat tantangan dalam lanskap regulasi maupun praktik di lapangan yang harus dihadapi.
Serangan siber (hacking) berupa teror, peretasan akun media sosial, penyebarluasan data pribadi secara publik (doxing), memperlambat jaringan internet secara senyap (throttling) hingga pemutusan jaringan merupakan contoh kegagalan pemerintah dalam regulasi dan penegakan hukum terkait dengan perlindungan terhadap aktivisme digital.
“Informasi dan Transaksi Elektronik(UU ITE) dan Perlindungan Data Pribadi(PDP) justru rentan digunakan untuk meredam suara kritis terhadap pemerintah. Jadi selama ini aturan hukum hanya untuk masyarakat, tapi tidak ada yang untuk pemerintah. Ini yang harus diperbaiki,” pungkas Iradat. (Tio)