Yogyakarta, Kabar Jogja - Penyandang disabilitas harus diberikan peluang dan diberdayakan sehingga mereka dapat membebaskan diri dari ketergantungan dan mampu mandiri.
Anggota Komite III dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr. H.
Hilmy Muhammad, M.A. mengatakan penyandang disabilitas menjadi tanggung jawab
bagi semua pihak. Keberadaan mereka yang mengalami ketidakmampuan ini, bukan
kelainan, tidak boleh menjadikan mereka didiskriminasi atau perlakuan yang
berbeda.
“Karena mereka adalah bagian dari kita. Bahkan boleh jadi
suatu saat nanti kita akan menjadi seperti mereka. Terkait hal ini, kita bisa
berkaca pada Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,” katanya di acara Lentera
Kasih RRI Pro 1 Jogja 91.1 FM, bekerja sama dengan Perkumpulan Penyandang
Disabilitas Indonesia (PPDI) DIY dengan tema Fiqih Disabilitas pada Sabtu (26/6).
Menurut pria yang akrab disapa Gus Hilmy ini, fiqih
disabilitas berarti bagaimana kalangan disabilitas melaksanakan agamanya, cara
dia bersuci, shalat dan lain sebagainya. Semua sudah diatur dalam buku Fiqih
Disabilitas terbitan Lembaga Bahtsul Masail PBNU.
Gus Hilmy mengatakan, prinsip agama itu memudahkan. Prinsip
ini mestinya juga harus diwujudkan dalam penanganan atau penyediaan sarana
prasarana peribadatan, termasuk bagi penyandang disabilitas.
Apabila mereka dianggap sebagai orang yang dihitung sebagai
anggota jumatan, maka fasilitas yang berhubungan dengan keragaman kemampuan
jamaah harus disediakan.
“Seperti menyediakan jalur kursi roda, toilet dan tempat
wudhu yang ramah dan nyaman buat mereka,” ucapnya.
Menurut Gus Hilmy, dalam perspektif pembangunan, penangan
terhadap mereka harus dilakukan, sebab disabilitas dan kemiskinan itu saling
mempengaruhi.
“Oleh karena itu, kewajiban negara adalah mendidik dan
menjadikan mereka bisa terampil dan mampu berkarya. Ini bukan hanya kewajiban
pemerintah, tapi juga adalah bagian dari kewajiban kita semua,” paparnya.
Sedangkan bagi pemerintah, wajib menyiapkan segala fasilitas
publik yang ramah bagi mereka, bagi infrastruktur, menyiapkan jenjang
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka.
“Termasuk menyiapkan sekolah lanjutan bagi lulusan SLB, dan
memberikan peluang bekerja yang sama dengan kalangan masyarakat umum kepada
mereka,” kata salah satu pengasuh Pesantren Krapyak ini.
Sementara bagi masyarakat, penting untuk memiliki kesadaran
kolektif untuk memahami hak-hak penyandang disabilitas.
“Misalnya membiasakan diri mendahulukan penyandang
disabilitas dalam antrean soal pengurusan dan pemanfaatan berbagai keperluan di
masyarakat, serta tidak menggunakan fasilitas yang memang dikhususkan bagi
penyandang disabilitas, baik dalam hal penggunaan toilet, tempat parkir,
fasilitas tempat duduk di area ruang tunggu atau kendaraan,” jelas Gus Hilmy.(rls)