-->
  • Jelajahi

    Copyright © KabarJogja.ID - Kabar Terkini Yogyakarta
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Aktivitas Gempa Bumi Meningkat 11 Ribu Kali

    20/07/20, 13:29 WIB Last Updated 2020-07-20T06:29:26Z

    Yogyakarta, Kabar Jogja - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof. Dr. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengatakan frekuensi kejadian gempa bumi setiap tahun terus semakin meningkat. Bila sebelum tahun 2016 rata-rata kejadian hingga 4000-5000 kali, lalu meningkat 7000 kali setahun kemudian.  Namun sejak 2018 hingga sekarang meningkat hingga lebih dari 11 ribu kali setoa tahunnya. Peningkatan aktivitas kegempaan ini menurutnya belum diketahui penyebabnya masih terus diteliti oleh pakar terkait aktivitas pergeseran lempeng bumi ini. 

    “Untuk menganalisis ini perlu kajian mendalam. Apakah ini tren pengulangan atau memang ada peningkatan sehingga perlu dievaluasi dengan dukungan data dengan kerja sama banyak pihak,” kata Dwikorita dalam webinar yang diselenggarakan Departemen Teknik Geologi UGM yang bertajuk Sistem Pemantauan Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami, Jumat (19/7).

    Peningkatan aktivitas tektonik ini menurut Dwikorita bisa saja terpengaruh oleh perubahan iklim dan sebagainya. Namun begitu, data yang dimiliki oleh BMKG menurutnya hanya pada kejadian kegempaan hanya sampai pada 200 tahun silam. Namun catatan soal kejadian tahun yang lebih lama tidak dimiliki.  “Keterbatasan selama ini memang kita tidak cukup memiliki data history gempa, hanya ada mulai tahun 1800-an, sekitaran 200 tahun yang lalu,” imbuhnya.

    Peningkatan aktivitas kejadian gempa di tanah air ini sudah ia laporkan ke Presiden. Salah satu langkah yang dilakukan oleh BMKG adalah meminimalisir risiko bencana akibat gempa bumi dan bencana tsunami. Namun demikian, soal alat deteksi tsunami yang dimiliki sekarang ini menurutnya sudah tidak layak pakai lagi karena sudah melampui batas kemampuan kerja alat tersebut yang hanya maksimal 10 tahun. “Sekarang sedang proses revitalisasi dan pengembangan,” katanya.

    Tidak hanya alat yang sudah uzur, kemampuan alat deteksi tsunami ini menurutnya juga tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh BMKG. Sebab alat yang ada sekarang ini hanya mendeteksi gempa akibat aktivitas tektonik namun bila terjadi aktivitas vulkanik seperti kejadian longsor di bawah lalut justru tidak terdeteksi.

    “Teknologi yang ada sampai hari ini didesain berdasarkan bencana tsunami di Aceh yang diakibatkan kejadian gempa tektonik namun untuk kejadian gempa non tektonik, sistem itu tidak dirancang,” katanya.

    Menurutnya kejadian tsunami di Banten beberapa waktu lalu akibat erupsi Gunung Krakatau menjadi pelajaran berharga bagi BMKG untuk memasang alat deteksi tsunami tidak hanya pada kejadian gempa tektonik namun juga kejadian non tektonik.

    Pihaknya tengah bekerja sama dengan BPPT, ITB dan beberapa lembaga lainnya tengah mengembangkan peralatan Earthquake Early Warning System atau pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi. Rencananya sensor alat deteksi gempa ini dipasang di jalur megatrust. “Sebarannya mengikuti megatrust sekitar 400-an sensor yang diperlukan,” ucapnya.(rls)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    close