Yogyakarta, Kabar Jogja – Keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 membuat khawatir banyak pihak. Salah satu poin dari perpres yang ditetapkan 6 Januari 2021 tersebut yang kontradiktif bahkan bisa membahayakan, menjadikan bangsa ini terpecah belah.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Sukamta mengatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
memang semestinya tidak ada toleransi terhadap kegiatan terorisme.
“Program ini di-endorse oleh Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB). Kita paham dan sangat mendukung semua program pemberantasan terorisme
sampai ke akar-akarnya,” katanya saat berbincang dengan media di warung Sate
Klatak Kang Ipan depan RSUD Wirosaban Yogyakarta pada Sabtu (23/1).
Dari sekitar 130-an rancangan rencana aksi, dirinya
memberikan satu catatan yakni klausul yang mendorong masyarakat membuat laporan
ke polisi apabila melihat adanya orang-orang yang dianggap ekstremis yang bisa
menjurus ke terorisme. “Dari seluruh rancangan itu saya tidak akan soroti 100
persen, tetapi catatan yang terkait dengan ajakan masyarakat ini yang saya kira
tidak tepat,” katanya.
Menurut Sukamta, di dalam perpres itu tidak diperjelas apa
sebenarnya ekstremisme berbasis kekerasan. Begitu pula pada lampiran kedua,
tidak disertai parameter maupun ukuran-ukurannya. Tidak hanya membuat masyarakat terbelah, pepres
itu jika ditarik pada level masyarakat paling bawah hampir pasti praktiknya
akan sangat merepotkan banyak pihak.
“Di satu RT misalnya, kalau kita rapat RT pasti ada orang
yang slow banget. Tapi ada juga yang ngeyel banget.
Super ngeyel. Kalau Pak RT ngomong apa saja pasti
dikritik. Nah, orang seperti ini apakah masuk ekstremis.
Menjengkelkan memang iya tetapi apakah menjengkelkan itu kemudian
dianggap ekstremis dan dilaporkan ke polisi. Apa parameter dan buktinya?,” katanya.
Menurutnya, inilah pentingnya definisi secara jelas dan
terperinci supaya masyarakat tidak terdorong saling berpecah belah. Dirinya khawatir,
perpres itu di tangan masyarakat bisa dijadikan semacam senjata, dalam tanda
kutip, untuk saling menjatuhkan sesama warga hanya gara-gara masalah sepele
bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan ekstremisme.
“Kenapa? Karena anjuran ini (berlaku) di seluruh Indonesia.
Saya membayangkan misalnya nanti kalau masyarakat mengetahui tentang ini,
ini kayak memberi ruang kepada masyarakat melaporkan ke polisi
orang-orang yang membuat jengkel, mangkel dan wong
sing sangat ngeyelan di kampung. Masyarakat nggak mau
tahu parameternya apakah ekstremis atau tidak. Pokoke laporkan karena
ada Perpres 7/2021, nanti ben disidik polisi,” ucapnya.
Sukamta juga mengatakan di dalam peraturan itu ada ketentuan
polisi begitu mendapat laporan punya kewajiban menyidik dan melakukan
pemanggilan. Mungkin karena banyaknya warga yang dipanggil prosesnya bisa
berlarut-larut. “Dipanggil jam 10.00 diperiksa jam 12 malam. Capek
nggak. Nggak peduli ini ekstremis atau nggak disidik
saja kan sudah ada laporan. Kalau ini berjalan di seluruh Indonesia
saya membayangkan masyarakat kita punya potensi diadu domba dan terbelah,”
ujarnya prihatin.
Mantan anggota DPRD DIY ini berharap pemerintah meninjau bab
rancangan terkait dengan pelibatan masyarakat. Ini dimaksudkan agar jangan
sampai aturan yang awalnya untuk pemberantasan teorisme berdasarkan
undang-undang adalah wewenang dan tugas BNPT dan polisi Densus 88, kemudian
melibatkan masyarakat.
“Ini kayak sosialisasi konflik ke akar
rumput. Nah, kalau itu terjadi, dalam waktu setahun dua tahun masyarakat
NKRI bisa terbelah menjadi dua atau banyak. Jadi, pakailah cara-cara yang
konstruktif jangan negatif. Maka saya sangat mengkritisi rancangan aksi ini
khususnya bab terkait pelibatan masyarakat untuk melaporkan. Untuk yang
lain-lain mulai dari pemberdayaan masyarakat supaya ekonominya maju
sehingga nggak gampang dibujuk teroris, itu sangat bagus,” ucapnya.(dho)