Sleman, Kabar Jogja –Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) menginginkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tidak lagi bersaing dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dalam hal perekrutan mahasiswa baru.
Harapan ini menjadi salah satu hal yang tertuang dalam peta jalan (roadmap) perguruan tinggi yang disampaikan APTISI ke presiden terpilih Prabowo Subianto.
Penjelasan mengenai peta jalan perguruan tinggi kedepan ini disampaikan Ketua APTISI Pusat, Budi Djatmiko usai pelantikan pengurus APTISI Wilayah V Yogyakarta periode 2023-2024 di Universitas AMIKOM Yogyakarta, Senin (5/8) pagi. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid terpilih sebagai ketua APTISI Wilayah V Yogyakarta untuk kedua kalinya.
“Peta jalan yang kami susun ini merupakan hasil dari berbagai studi banding yang kita lakukan di banyak negara mengenai pendidikan dasar. Pendidikan akhlak, kepemimpinan dan belajar dengan bahagia adalah inti di peta jalan ini,” kata Budi.
Dipaparkannya, pendidikan akhlak di luar negeri mendapatkan porsi yang utama sejak pendidikan dini dibandingkan dengan pendidikan akademik yang mengandalkan ujian. Kepemimpinan juga diajarkan dengan melakukan berbagai kebiasaan-kebiasaan baik seperti mengantri.
Sehingga ketika mereka berada di bangku kuliah, maka program studi yang dipilihnya harus mampu mengajarkan kekuatan untuk mengatur dunia dengan baik.
“Kemudian ada konsep pendidikan yang bahagia. Dimana pendidikan harus menghasilkan orang yang berbahagia di dunia dan akhirat karena itu adalah capaian tertinggi. Kalau pendidikan tidak menghasilkan orang-orang bahagia, berarti ada yang salah. Mungkin pemimpin, pembina, rektornya, dekannya atau dosen,” tegas Budi.
Disampaikan pula peta jalan tersebut juga mengusulkan agar mahasiswa yang diterima di PTN digratiskan saja, syaratnya dengan jumlah yang terbatas. Ini kedepannya agar persaingan PTN tidak lagi dengan PTS di dalam negeri. Namun sudah fokus pada persaingan universitas tingkat dunia.
Jika kondisi selama ini dibiarkan, dimana PTN dengan sistem ‘pukat harimaunya’ menjaring mahasiswa lebih banyak, maka dipastikan PTS tidak akan hidup. Pasalnya PTS tidak ingin mendapatkan bantuan pemerintah karena memang tidak ingin diatur pemerintah.
“Negara hanya membukakan jalan saja, jika masyarakat sudah bisa melakukannya maka negara harus melepas. Ini juga berlaku dalam konsep pendidikan, jika swasta bisa menjalankan, negara harus melepas dan menyerahkan ke swasta,” ujarnya.
Dengan memiliki mahasiswa yang sedikit namun berprestasi, PTN menurut Budi akan fokus bersaing untuk menjadi universitas terbaik tingkat dunia. Nantinya juga PTN-PTN yang ada akan dikhususkan untuk menjadi pemain utama dalam satu bidang tertentu. Misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi pusat studi nuklir, Institut Teknologi Bandung (ITB) pusat studi mesin.
Dalam sambutannya, Ketua APTISI Wilayah Yogyakarta, Fathul Wahid akan fokus memastikan PTS bisa menunjukkan kontribusinya untuk mendidikan aktor intelektual Indonesia.
Meskipun dirinya sadar ada banyak tantangan berkelindan seperti menurunnya jumlah mahasiswa yang mendaftar, daya beli masyarakat menurun, serta berubahnya prioritas pengeluaran keluarga.
“Peran PTS tidak bisa dipandang sebelah mata. Proporsi mahasiswa yang kuliah di PTS hampir 50 persen. Ada dua peran besar PTS yang tidak bisa dikesampingkan pemerintah,” ucapnya.
Pertama, PTS dari sisi geografi mampu menjangkau berbagai pojok yang selama ini belum tersentuh negara. Kedua biaya pendidikan, jika dikalkulasikan masih lebih murah dibandingkan PTN sekarang ini.
Fathul menegaskan pihaknya ingin mengubah pola pikir yang merendahkan PTS dengan menyebut universitas swasta hanya besar gedungnya saja tetapi sedikit mahasiswanya.
“APTISI bukan melawan, tapi mengingatkan pendidikan tanggung jawab negara. Tanggung jawab moral. Sehingga seharusnya PTS diberi tanggung jawab yang sama dengan menghadirkan persaingan yang sehat, maju dan berkembang. Bukan justru dimatikan dengan kepicikan kebijakan dengan peraturan,” tutup Fathul. (Tio)