Yogyakarta, Kabar Jogja – Di tengah minimnya bantuan dari pemerintah, pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bidang konveksi di Daerah Istimewa Yogyakarta justru saling menguatkan untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Kolaborasi ini mampu menghasilkan produk berkualitas ekspor.
Hal ini terungkap dalam bincang santai bertajuk ‘Kupas Tuntas Bangun Brand Fashion’. Disebutkan tidak ada satupun UMKM konveksi di Yogyakarta yang tersentuh akses bantuan atau pelatihan dari pemerintah
Pemilik brand fesyen Farah Button, Sutardi Rabu (13/9) yang menjadi pembicara utama mengatakan karena minimnya bantuan pelatihan maupun peralatan. Pihaknya secara mandiri melakukan pelatihan dan pendampingan kepada UMKM mitra.
“Saya tidak menjangkau lebih banyak karena keterbatasan cakupan wilayah. Padahal potensi pelaku UMKM konveksi di Yogyakarta menghasilkan produk yang tidak mengecewakan,” ucapnya.
Padahal sebagai usaha outfit ready to wear Farah Button, Sutardi menyatakan keterlibatan UMKM konveksi di Yogyakarta sangatlah penting.
Bagaimana dulu dirinya bekerjasama dengan satu UMKM konveksi di Solo yang terdiri dari lima orang. Saat ini, sekitar 300 orang dari lima UMKM konveksi di Yogyakarta yang terlibat dalam produksi outfit ready to wear Farah Button.
“Saya pernah mendapat cerita, salah satu pelaku UMKM konveksi didatangi orang yang mengaku dari pemerintahan. Orang tersebut berjanji memberikan bantuan berupa mesin jahit. Syaratnya, tempat usahanya harus difoto. Tapi setelah difoto, juga tidak pernah dapat bantuan mesin jahit,” ujar Sutardi.
Karenanya, sebagai upaya meningkatkan keterampilan dan kualitas produksi, Sutardi turun ke lapangan memberikan pelatihan secara langsung kepada UMKM konveksi untuk meningkatkan kualitas produksi.
“Hasilnya, tidak mengecewakan. Produk-produk Farah Button memiliki kualitas yang baik dan bisa bersaing ke pasar ekspor. Terbukti, koleksi Farah Button sudah bisa dinikmati pelanggan di Jepang,” tegasnya.
Namun, ia menyadari keterbatasannya. Tidak mungkin merangkul seluruh UMKM konveksi di Yogyakarta untuk diberi pelatihan. Ia berharap pemerintah bisa memberikan perhatian dan tidak mengabaikan UMKM konveksi di Yogyakarta.
“Termasuk dipermudah untuk mendapatkan modal usaha dan bisa mendampingi dalam produksi serta memberikan pelatihan sehingga mereka bisa memiliki wadah dan menjadi lebih maju,” ucap Sutardi.
Melalui talkshow ini, Sutardi ingin memberikan pengarahan kepada semua orang tentang bisnis fesyen dan memberikan kesempatan kepada UMKM konveksi di Yogyakarta agar bisa lebih dikenal dan diberikan kesempatan untuk lebih maju.
Pemilik Nifira Konvek, Egi Mashita, mengungkapkan hal serupa. Sejak berdiri pada 2020 dan hingga membawahi 55 karyawan. Dirinya sama sekali belum mendapatkan akses bantuan dari pemerintah. Baik dalam bentuk permodalan maupun pelatihan.
Padahal, dalam menjalankan usahanya tantangan terbesar adalah menghasilkan pakaian dengan harga jasa yang terjangkau dan berkualitas serta mengelola sumber daya manusia.
“Harapan saya UMKM konveksi dilirik pemerintah, jadi bisa berkembang dan lebih baik lagi,” ujarnya yang bekerja sama dengan Farah Button sejak awal 2023.
Senada dengan Egi, Ratu Sabilla pemilik UMKM konveksi Asiatik Work juga belum pernah mendapatkan akses bantuan maupun pelatihan dari pemerintah. UMKM konveksi yang sudah bekerja sama dengan Farah Button sejak Desember 2021 ini memiliki 18 orang penjahit yang terlibat dalam produksinya.
Menurut Ratu, tantangan terbesar dalam menjalankan usaha konveksi adalah memenuhi kuota produksi setiap minggu. Setiap penjahit mempunyai target yang harus dihasilkan per minggu.
“Jadi, jangan sampai kain datang terlambat dari pelanggan atau pun kain dari team cutting terlambat supaya pekerjaan selalu tersambung terus,” ucapnya.
Ia berharap jika pemerintah memberikan dukungan nyata, kualitas produksi Asiatik Work bisa meningkat dan menerima pesanan secara berkelanjutan. (Tio)